SAMBUTAN
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam Pergerakan
!!!
Puji syukur
Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufiq,
inayah dan hidayah kepada kita semua. Shalawat dan Salam di curahkan kepada
haribaan baginda Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan suri tauladan sehingga
mampu membedakan antara Haq dan Batil dalam menjalani jejak kehidupan ini.
Ucapan rasa syukur atas terbitnya MODUL MAPABA 2019 ini, semoga bermanfaat
untuk kita semua. Amin.
Secara Struktur
Fungsionalis, dalam tatanan sosial mahasiswa merupakan kaum berpendidikan
tertinggi dalam dunia intelektual sehingga antara mahasiswa dan intelektual
adalah hal yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Sedangkan intelektual itu
sendiri merupakan manifesto pemikiran yang dimiliki mahasiswa, idealnya mampu
mengimpelementasikan nilai-nilai inteleketual dan moralitas untuk mengabdikan
diri kepada masyarakat; sesuai pendidikan dan pengajaran, penelitian dan
pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat (Tri Darma Perguruan Tinggi).
Sahabat-sahabati
yang selalu dalam bingkai pergerakan, tidak ada kehidupan dunia yang fana ini
kecuali memberikan kemanfaatan untuk sesama mahkluk Tuhan di muka bumi ini.
Takdir telah menentukan kita sebagai warga Negara Indonesia yang beragama Islam
sehingga menuntut kita untuk berjuang dalam keduanya. Kebangsaan dan keagaamaan
yang sesuai nilai ASWAJA terutama An-Nahdliyah, karena biar bagaimanapun PMII
merupakan underbow NU.
Sesuai mandat
dan amanah dari panduan buku PB PMII yang telah di tetapkan, buku modul MAPABA
ini telah hadir sebagai sarana untuk memberikan pemahaman bagi anggota baru
mengenai materi dasar yang menjadi penguatan karakter Ulul al-bab anggota PMII.
Diharapkan juga mampu memberikan kontribusi dan menjadi pegangan yang akan
senantiasa menjaga arah pemikiran dan gerakan anggota PMII.
Ketahuilah
bahwasanya PMII adalah rumah bagi jiwa kita. Pemikiran, langkah, dan sikap kita
terarah melalalui paradigma PMII; kritis transformatif, berhaluan Ahlussunnah
Waljama’ah, dan memiliki nilai dasar pergerakan yang selalu menjadi visi PMII
dalam setiap gerakan. Spirit atau ghiroh semacam ini akan kami bangkitkan
kembali melalui materi Mapaba yang mengusung tema “Reaktualisasi Ghiroh Gerakan
Mahasiswa dalam Bingkai Aswaja”.
Kami ucapkan
terima kasih kepada segenap anggota Biro Kajian dan Wacana yang telah
bekerjasama dengan ikhlas baik dalam kepenulisan maupun dalam pembuatan Modul
MAPABA. Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap panitiadan
pengurus rayon yang senantiasa mengingatkan dan memberikan dukungan sehingga
Modul MAPABA ini dapat tersampaikan sebagai panduan dalam kegiatan MAPABA tahun
2019.
Terakhir, kami menyadari bahwa modul ini masih
jauh dari kata ideal sehingga kami
dengan senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan bagi Modul MAPABA
kedepannya. Mohon maaf atas kekurangannya.
Tangan terkepal
dan maju kemuka
Salam
Pergerakan!!!
Wassalam
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Salam pergerakan !!!
Yang terhormat ketua yayasan
sultan trenggono,kandri,gunungpati
Yang kami hormati sahabat/I IKA PMII Rayon Ushuluddin Komisariat UIN Walisongo Semarang
Yang kami hormati Sahabat/I Pengurus PMII Rayon Ushuluddin Komisariat UIN Walisongo semarang
Serta sahabat/I peserta MAPABA PMII Rayon Ushuluddin Komisariat UIN Walisongo
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang telah melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya kepada kita sehingga dapat berkumpul guna Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) Rayon Ushuluddin Komisariat UIN Walisongo Semarang tahun 2019,semoga dalam acara MAPABA ini,selalu diberi kelancaran dan keberkahan tidak ada halangan dari awal hingga akhir.
Dan tak lupa Sholawat serta salam kita haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang kita tunggu syafaatnya di yaumilqiyamah nanti.
Selamat dating sahabat/I
calon anggota PMII,dengan rasa bangga saya ucapkan,karena sahabat semua adalah orang-orang yang memilih pilihan yang tepat.sebelum kalian semua dating ketempat ini pasti ada rasa kebimbangan tapi kalian telah menentukan di dunia pergerakan ini.
Memilih merupakan suatu keputusan yang pasti adanya kemanfaatan dari sebuah pilihan, tidak ada kemanfaatan jika tidak disertai dengan gerakan dan kerja keras,saat pertama kali masuk dunia kampus,sahabat sekalian dikenalkan dengan kakak-kakak tingkat bahwa mahasiswa bukan hanya duduk di dalam kelas,tapi juga bisa responsif terhadap apa yang terjadi disekitar kita. Seperti predikat mahasiswa seperti agent of change makaapa yang harus dilakukan merupakan representative dari predikat yang telah diberikan.
Seperti apa yang pernah diucapkan Mahbub Djunaidi (KetuaUmum PB PMII pertama) “
Tanamkan ke kepala anakmu bahwa hak asasi itu sama pentingnya dengan sepiring nasi”dengan dasar itulah pengurus PMII Rayon Ushuluddin mengajak ke pada sahabat/I untuk bergabung dengan PMII.
Dengan bergabungnya sahabat/I akan mampu merealisasikan apa yang menjadi ghiroh gerakan mahasiswa,agent of change,agent of social control dan lainnya.
Selain itu PMII hadir disaat pertarungan ideologi ahlusunnah waljamaah yang selalu mengkampanyekan ideologi ke-islaman dan ke-indonesian di tengah serangan ideoligi-ideologi yang menyerang keutuhan NKRI.
Tema yang diusung pada kali ini “Reaktualisasi Ghiroh Gerakan Mahasiswa Dalam Bingkai Aswaja”.kami berharap melalui MAPABA kali ini para anggota dapat mengembalikan spirit gerakan mahasiswa yang di bingkai dalam nilai-nilai pengamalan ahlusunnah waljamaah
Maka dari itu kami berpesan teruslah berproses,didalam proses ada banyak hal tempaan yang membuat kalian semakin kuat,lelah itu manusiawi tapi jangan sampai lelah itu membuat kalian berhenti berproses. Seperti penggalan ayat di Alquran “bahwa Allah tidak merubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu merubahnya sendiri”
Sekian dan terimakasih kekurangan dan kesalahan mohon maaf sebesar-besarnya
Wallahulmuwaffiqillaaqwamitthoriq
Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Salam Pergerakan !!!
Hadziq Muhammad Musofa
MATERI I
AHLUSSUNNAH
WAL JAMA’AH (ASWAJA)
“Demi
Tuhan yang menguasai jiwa Muhammad, sungguh umatku nanti akan pecah menjadi 73
golongan, satu golongan masuk surga dan yang 72 golongan akan masuk neraka,
seorang sahabat bertanya, “siapakah mereka yang masuk surga itu, ya Rasulallah
?”, Rasul menjawab, “Mereka itu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah”. ( H. R.
Imam Thabrani ).
Ahlussunnah wal Jama’ah
yang disebutkan dalam hadis tersebut sontak menjadi rebutan oleh beberapa
golongan Islam yang berkembang hingga sekarang. Baik golongan Islam kanan yang
sering menyebutkan dirinya salafi dan golongan Islam kiri yang menyebut dirinya
sebagai Islam modern. Mereka menggembor-gemborkan golongan merekalah yang
paling benar, golongan yang paling sesuai mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw.
Berdasarkan
pernyataan Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Imam Thabrani tersebut menyatakan
bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw dan
sebelum Islam terpecah belah menjadi 72 golongan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menjelaskan, Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan madzhab yang telah lama
dikenal sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’i dan Ahmad
(Minhajus Sunnah: 2/482 tahqiq Muhammad Rasyad Salim). Hampir dua abad lamanya
akidah atau kepercayaan Islam mengalami kegoncangan hebat akibat situasi politik
dan sosial pada saat itu yang menyebabkan terpecahnya Islam menjadi beberapa
golongan.
Secara
etimologi Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari tiga kata. Ahlu yang
memiliki arti golongan, keluarga, orang yang memiliki, atau orang yang
menguasai, sedangkan sunnah berarti perkataan, perbuatan, atau ketetapan,
dan jama’ah berarti kumpulan atau
kelompok. Secara terminologi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan
yang mengikuti dan mengamalkan ajaran agama Islam yang murni sesuai yang
diajarkan dan diamalkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Nahdlatul
Ulama (NU) merupakan organisasi masyarakat (ormas) Islam pertama di Indonesia
yang menegaskan diri berpaham aswaja. Sesuai degan Qonun Asasi NU (konstitusi
dasar) pada saat awal berdirinya tahun 1926, Hadratu as-Syaikh Hasyim Asy’ari
tidak menyebutkan ta’rif atau definisi aswaja, tetapi beliau menyatakan
bahwa dalam memamahi Islam, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam bidang akidah menganut pendapat Abu
Hasan al-Asy’ari dan Al-Maturidi, sedangkan di bidang fiqh mengikuti empat
madzhab besar (madzahibul arba’ah) yaitu Imam Abu Hanifah an-Nu’man,
Imam Malik bin Annas, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin
Hambal, dan dalam bidang tasawuf menganut Imam Junaid al-Bagdhdadi dan Imam
Al-Ghazali.
Sejak
pertama didirikan sampai saat ini proses reformulasi NU terus berjalan dan
pengertian aswaja tersebut terus bertahan dalam tubuh NU. Pada tahun 90-an
munculah pertanyaan, tepatkah NU dianut sebagai madzhab, padahal dalam aswaja
sendiri menganut madzhab terutama dalam bidang Fiqh? Pada tahun 1994, dimotori
oleh K.H Said Aqil Siroj,baru ada gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu
diperlakukan sebagai sebuah madzhab. Gugatan muncul karena melihat perkembangan
zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula,
dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja
sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ahsebagai
manhaj al-fikr (metode berfikir).
NU
memandang gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman. Dalam
tinjauan sejarah, muatan doktrinal dan metodologi aswaja selama ini terkesan
terlalu kaku. Sebagai manhaj, aswaja menjadi lebih fleksibel dan
memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan melakukan
ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
ASWAJA
Sebagai Manhaj Al-Fikr wa al-Harakah
Sekitar
tahun 1995/1996 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menjadikan Aswaja
sebagai Manhaj al-Fikr. Aswaja
bukan dijadikan tujuan dalam beragama saja melainkan dijadikan metode dalam
berpikir untuk mencapai kebenaran agama. PMII memandang bahwa orang-orang Ahlussunnah
wal Jama’ah memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan dengan berlandaskan modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleran,
sehingga aswaja sampai sekarang banyak memberikan relevansinya dalam kehidupan
beragama sesuai dengan kaidah yang menjadi embrio aswaja yaitu “Menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil
tradisi yang lebih baik” .
PMII
meletakkan prinsip aswaja sebagai manhaj al-fikr yang meliputi, tawasuth
(moderat), tawazun (netral), ta’addul (keseimbangan), dan tasamuh
(toleran). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa
selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun
tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal), dengan adanya sebuah keterkaitan
dan keseimbangan antara wahyu dan akal, sehingga kita tidak terjebak pada paham
skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Dalam konteks hubungan sosial,
seorang kader PMII harus bisa bersikap ta’addul (seimbang) dan tasamuh
(toleran), yaitu menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada, bahkan sampai
pada keyakinan sekalipun. Jangan sampai memaksakan keyakinan atau pendapat kita
pada orang lain, tetapi diperbolehkan menyampaikan dan mendialektikan keyakinan
atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan
hidayah dari Allah Swt.
Keempat adalah tawazzun
(seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazun meliputi berbagai aspek
kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks
politik sekalipun. Aswaja tidak terkotak dalam kubu menolak maupun mendukung suatu
rezim. Oleh karena itu, PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak
merusak kewibawaan sebuah pemerintah yang telah disepaktai bersama, namun tidak
juga mendukung semua kebijakan pemerintah, PMII mendukung kebijakan pemerintah
yang baik dan mengedepankan kesejahteraan rakyat, serta berani mengkritik
kebijakan pemerintah yang menyeleweng dan tidak mengedepankan kepentingan
rakyat.
Sikap tawazun ini sangat
penting, karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi
di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak
seharusnya, walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin
tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal
keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana
dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada
proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, bukan hanya diam
tidak mengambil sikap, karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
Selain
sebagai manhaj al-fikr PMII harus mampu mensistematisasi dan menyusun
secara konsepsional dari al-fikr ke al-harakah (pergerakan).Basis
argumentasi yang di miliki kader PMII harus melandaskan pada akar-akar historis
Nahdlatul Ulama yang bersifat kritis dan kontektual, diantaranya adalah bagaimana upaya
menggerakkan Trilogi NU yang pernah muncul dalam sejarah ke-NU-an, yaitu
Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathon dan Taswirul afkar.Hal tersebut dapat direalisasikan
dengan cara menggerakkan wawasan strategis ke-Aswaja-an, tradisi nusantara,
kaum mustadh’afin, pribumisasi Islam dan semangat kebangsaan.
NU
dalam ranah pemikiran (Manhaj al-Fikr) dengan konsep Aswajanya mampu
mengembangkan berbagai metodologi hukum-hukum syari’ah yang sebelumnya tidak
ada, sementara dalam pergerakan (al-Harakah) NU selalu menjadi ruh pergerakan para ulama,
dari mulai membuat gerakan ekonomi, gerakan politik, gerakan kebudayaan,
gerakan keagamaan, gerakan pendidikan dan gerakan kebangsaan. PMII yang bisa
dikatakan sebagai anaknya NU harus mampu mengikuti arah gerakannya sebagai
garda terdepan dalam menggerakan sendi-sendi kebangsaan dan menciptakan Islam
yang rahmatan lil ‘alamin.
Aswaja sebagai Ideologi
Secara sederhana, Ideologi adalah kesepakatan konsensus yang ada di
dalam organisasi tertentu. Sejarah Ideologi dunia, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, marksisme, leninisme, fasisme,
liberalisme, radikalisme, dan ekstrimisme dinilai ampuh mempengaruhi
dan menggerakkan dunia dalam pengaruh idenya. Tanpa ideologi negara akan hancur,
begitu juga dengan sebuah organisasi. Namun, dalam PMII sendiri dikembangkannya Aswaja menjadi Ideologi masih membutuhkan perumusan landasan filosofis yang matang dan strategi gerakan yang dilahirkan dari ideologi tersebut.
Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham Aswaja,
baik dalam aqidah (iman) syari’ah (fiqh)
ataupun akhlaq (ihsan).
Maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran yang tengah dan moderat (tawasuth),
berimbang atau harmoni (tawazun) netral atau adil
(ta’adul), dan toleran (tasamuh). Metodologi pemikiran Aswaja senantiasa menghindari sikap-sikap tatoruf
(ekstrim), baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham Aswaja.
Jika pada era
awal, Aswaja merupakan counter discourse (wacana tanding) orientasi ideologi Islam puritan (Wahabi) dan modernis,
maka dewasa ini NU dihadapkan pada orientasi ideologi yang sangat beragam
dan kompleks yang telah memasuki
dunia sumbu pendek, dan mencatut dalil agama dalam tindak-tanduknya.
Sebagai contoh banyaknya aksi yang mengatasnamakan pembelaan agama dan mudahnya
mengkafirkan orang lain yang menjadikan wajah Islam di Indonesia sebagai
perwujudan pemarah bukan peramah..
PMII sebagai kaum moderasi menjunjung tinggi multikultural
yang menjadi ciri khas bangsa
Indonesia. Ada empat spirit yang
menjadi semangat gerak PMII untuk tetap menjaga ukhuwah, Ukhuwah PMII, Ukhuwah Nahdliyah, Ukhuwah Wathaniyah, dan Ukhuwah Insaniyah.
Masih hangatnya isu agama yang masih digugat dalam kehidupan berbangsa dan beragama, membuat benang yang telah lama dirajut oleh para
ulama dan pendiri bangsa menjadi rapuh dan rentan putus.
Ditandai dengan menguatnya kembali pemikiran-pemikiran ideologi Trans-Nasional, baik yang
berbasis agama (Islam) maupun sekuler membuat NU dan PMII
harus pandai bersikap.
Pertama,
ideologi transnasional berbasis Islam, Ikhwan al-Muslimin dan Hizb
al-Tahrir al-Islamiyyah. Para penyokong gerakan-gerakan itu di
Mesir, mereka berpaham Sunni,
sedangkan di Makkah, mereka adalah penganut paham salafi-wahhabi. Dalam bidang amaliyah
diniyyah, mereka ini
(khususnya yang menganut Sunni)
tidak berbeda dengan kebanyakan muslim di Indonesia, termasuk nahdliyyin.
Namun mereka berbeda dengan
orang-orang NU dalam orientasi politiknya.
Sedangkan mereka yang menganut Salafi-Wahhabi, mereka terbagi menjadi dua Salafi Da’wah dan
Salafi Jihadi (politik). Pemikiran mereka ini,
merupakan kebangkitan kembali gagasan-gagasan wahhabiyyah
pada era awal kelahiran
NU. Sedangkan pemikiran Salafi Jihadi (seperti
Zain al-‘Abidin al-Sururi, Abu Bakar Ba’asyir, dan lain-lain) lebih sering bersinggungan dengan cara pandang ulama NU pada masalah kenegaraan (bentuk negara NKRI,
nasionalisme, hukum, sistem politik dan sebagainya).
Kedua,
ideologi transnasional berbasis sekuler,
sebagaimana dapat diidentifikasi dari berkembangnnya paham liberalisme dan sosialisme. paham liberal mengemuka dalam dua bentuk,
yakni Liberal-Konservatif dan Neo-Liberal. Jika para penyokong paham Liberal Konservatif berpandangan bahwa ekonomi ditentukan oleh pasar, maka paham Neo-Liberal lebih ekstrem dengan pendiriannya bahwa seluruh aspek kehidupan ini ditentukan
oleh pasar. paham ini kompatibel dengan gagasan Kapitalisme Global atau Neo-Kapitalisme. Sementara itu paham Sosialisme yang
berkembang meliputi Sosialism Kiri mengusung gagasan-gagasan Marksisme dan di sisi lain terdapat Sosialis Demokrat yang
lebih moderat.
Tentu saja identifikasi
di atas tidak lengkap, dan cenderung menyederhanakan keragaman yang sebenarnya. Namun demikian, untuk kepentingan memperjelas posisi Aswaja,
kiranya identifikasi tersebut cukup untuk mengeksplorasi prinsip al-tawassuthwa
al-Iqtishad yang menjadi karakter utama Aswaja.
Aswaja ala NU melahirkan sebuah konsep dan hirarki kehidupan yang mampu menjadi sebuah payung teduh umat seluruh alam, bukan hanya kaum muslim.
Referensi :
Abbas, KH Sirajuddin.1995.I’tihad Ahli Sunnah wal Jama’ah.Jakarta:Pustaka
Tarbiyah.
Djamilun, dkk.1998.Ke-NU-an.Semarang:Wicaksana.
Fadeli, Soeleiman, Subhan, Mohammad.2007.Antologi NU (Sejarah,
Istilah, Amaliyah, Uswah).Surabaya:Khalista.
Hadi, Muhammad Abdul.1990.Ahli Sunnah wal Jama’ah Ma’alimu
Inthilaaqotil Kubra.Surabaya:Central Media.
ZuhroRif’atuz .2017. Aswaja-Pmii-dan-Ideologi.
Jombang: Tebuirengonline.
Modul
Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) 2016 PMII Rayon Ushuluddin dan Humaniora
Komisariat Walisongo Semarang.
MATERI II
Ke-PMII-an
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan
Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960
dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahaiswa
turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Diantaranya
adalah Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum pertama PMII.
A.
Cikal
Bakal PMII
Berdirinya
PMII yang paling utama didasari oleh hasrat para mahasiswa NU untuk membentuk
wadah organisasi berideologi Ahlussunnah waljama’ah(Aswaja). Ide ini tak
dapat dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU (ikatan pelajar nahdlatul ulama-
ikatan pelajar putri nahdlatul ulama), secara historis, PMII merupakan mata
rantai dari departemen perguruan tinggi IPNU yang dibentuk dalam muktamar III
IPNU di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 27-31 Desember 1958. Di dalam wadah
IPNU-IPPNU ini banyak mahasiswa yang menjadi anggotanya, bahkan mayoritas
fungsionaris pengurus pusat IPNU-IPPNU berpredikat sebagai mahasiswa. Itulah
sebabnya keinginan dikalangan mereka untuk membentuk suatu wadah khusus yang
menghimpun para mahasiswa nahdliyin. Pemikiran ini sempat terlontar pada
muktamar II IPNU tanggal 1-5 Januari di Pekalongan Jawa Tengah, tetapi para pucuk pimpinan IPNU sendiri tidak
menanggapi secara serius. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi di dalam IPNU
sendiri masih perlu pembenahan, yang banyaknya fungsionaris IPNU berstatus
mahasiswa, sehingga dikhawatirkan bila wadah khusus untuk mahasiswa ini berdiri
akan mempengaruhi perjalanan IPNU yang baru saja terbentuk. Tetapi aspirasi
kalangan mahasiswa yang tergabung dalam IPNU ini makin kuat, hal ini terbukti
pada muktamar III IPNU di Cirebon Jawa Barat, pucuk pimpinan IPNU didesak oleh
para peserta muktamar membentuki suatu wadah khusus yang akan menampung para
mahasiswa nahdliyin, namun secara fungsional dan struktur organisatoris masih
tetap dalam naungan IPNU, yakni dalam wadah departemen perguruan tinggi IPNU.
Namun,
langkah yang diambil oleh IPNU untuk menampung aspirasi para mahasiswa
nahdliyin dengan membentuk departemen perguruan tinggi IPNU pada kenyataannya
tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Terbukti pada Konprensi Besar IPNU
di Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 14-16 Maret 1960, Forum konpresi besar
memutuskan terbentuknya suatu wadah/organisasi mahasiswa nahdliyin yang
terpisah secara struktural maupun fungsional dari IPNU-IPPNU. Adapun
pertimbangan-pertimbangan yang diperdebatkan dalam rapat pimpinan pusat
nasional IPNU adalah:
Pertama,
wadah departemen perguruan tinggi IPNU dianggap tidak lagi memadai, tidak cukup
kuat untuk mewadahi gerakan kemahasiawaan.
Kedua,
perkembangan politik dan keamanan dalam negeri menuntut pengamatan yang ekstra
hati-hati, khususnya bagi para mahasiswa Islam.
Ketiga,
satu-satunya wadah kemahasiswaan Islam yang ada pada waktu itu ialah HMI
(himpunan mahasiswa Islam), yang tokoh-tokohnya dinilai terlalu dekat dengan
partai Masyumi.
B.
Organisasi-organisasi
Pendahulu
Di
Jakarta pada Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.
Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) yang
dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa
tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri
dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. dan ditakutkan
akan memperlemah eksistensi IPNU. IMANU dan KMNU dikhawatirkan akan memperlemah
eksistensi IPNU.
C.
Deklarasi
Pada 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang
bertempat di Sekolah Muamalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah
perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta,
Malang, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang
bernaung di bawah NU. Pada musyawarah yang diadakan di Surabaya tersebut
memperdebatkan nama organisasi yang benar-benar pantas yang akan didirikan
hingga pada puncaknya menyepakati PMII sebagai nama yang pantas untuk organisasi
kemahasiswaan NU. Musyawarah juga menghasilkan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah
Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai
ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai
sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk
menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara
resmi pada 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawal 1379
Hijriyah.
Perjuangan
mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa di bawah naungan NU mencapai
puncaknya ketika IPNU mengadakan Konferensi Besar (Konbes) pada 14-17 Maret
1960 di Kaliurang,Yogyakarta. Isma’il Makky (Ketua Departemen Perguruan Tinggi
IPNU) dan Moh. Hartono, BA (Mantan wakil pemimpin usaha harian Pelita Jakarta)
menjadi wakil mahasiswa yang berbicara didepan peserta Konbes, yang kemudian
mereka pertegas keinginan mahasiswa untuk mendirikan organisasi yang mewadahi
aspirasi mahasiswa NU. Kesimpulan dari konbes tersebut menghasilkan keputusan
perlunya mendirikan suatu organisasi mahasiswa NU.
Langkah
selanjutnya adalah membentuk panitia sponsor pendiri organisasi yang
beranggotakan 13 orang. Tugas dari tim 13 ini adalah melakukan musyawarah
mahasiswa NU se-Indonesia yang akan bertempat di Surabaya dengan limit satu
bulan setelah keputusan Kaliurang. Ketiga belas orang tim tersebut adalah
Cholid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Sobich Ubaid (Jakarta), M.
Makmun Syukri, BA (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismai’il Makky (Yogyakarta),
Munsif Nahrawi (Yogyakarta), Nuril Huda Suaidy HA (Surakarta), Laily Mansur
(Surakarta), Abd. Wahab Jailani (Semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M.
Cholid Narbuko (Malang) dan Ahmad Husain (Makasar).
Sebelum
musyawarah dilaksanakan, tim panitia yang diwakili oleh tiga orang, yakni
Hisbullah Huda, M. Said Budairy dan Makmun Sukri BA menghadap kepada Ketua Umum
PBNU, KH. Dr. Idham Khalid untuk meminta do’a restu dan persetujuan ihwal
pembentukan organisasi mahasiswa NU tersebut. Dalam nasehatnya, KH. Idham
Khalid menyarankan agar organisasi yang akan dibentuk benar-benar dapat
diandalkan sebagai kader NU dengan argumen ilmu yang dimiliki oleh mahasiswa
harus diamalkan bagi kepentingan rakyat. Bukan ilmu untuk ilmu. Setelah memberi
nasehat, Ketua Umum PBNU merestui dilaksanakannya musyawarah mahasiswa
tersebut.
Selanjutnya,
pada 14-16 April 1960 diselenggarakan musyawarah mahasiswa NU se-Indonesia
bertempat di sekolah Mu’alimat NU Wonokromo Surabaya untuk membahas tentang
peresmian organisasi sesuai keputusan konbes IPNU di Kaliurang sebulan
sebelumnya. Dalam musyawarah tersebut sempat muncul perdebatan tentang nama
organisasi yang akan dibentuk. Dari proses perdebatan itu muncul beberapa nama
yang diusukan oleh peserta musyawarah antara lain :
1.
Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU), diusulkan oleh delegasi
dari Jakarta
2.
Persatuan atau Perhimpunan Mahasiswa Ahlussunnah wal Jamaah atau
Perhimpunan Mahasiswa Sunni yang diusulkan oleh delegasi dari Yogyakarta
3.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang diusulkan oleh
delegasi Bandung, Surabaya dan Surakarta.
Dari ketiga
usulan tersebut akhirnya yang disetujui adalah nama PMII. Dalam hal ini peserta
sebenarnya menyadari bahwa organisasi ini adalah organisasi kader partai NU,
akan tetapi semua menghendaki agar nama NU tidak dicantumkan. Hanya saja mereka
sepakat agar organisasi ini tidak terlepas dari makna filosofis “Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia” dengan rumusan pemikiran sebagai berikut :
1.
Mewujudkan adanya kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa,
khususnya karena pada saat itu situasi politik nasional diliputi oleh semangat
revolusi.
2.
Menampakkan identitas ke-Islaman sekaligus sebagai kelanjutan dari
konsepsi NU yang berhaluan paham Ahlussunnah wal Jamaah, juga berdasarkan
perjuangan para wali di pulau Jawa yang telah sukses melaksanakan dakwahnya
penuh toleransi dengan mengakulturasi budaya setempat. Mahasiswa NU diharapkan
bisa mengkaji budaya untuk bisa dimanfaatkan mana yang bertentangan atau tidak
dengan ajaran Islam, sehingga dengan begitu nilai-nilai ajarannya bersifat
akomodatif.
3.
Memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, oleh
karena itu nama Indonesia harus tetap tercantum.
Dari hasil
keputusan perihal penamaan PMII ini, setidaknya ada empat hal yang menarik
untuk dibahas. Pertama, istilah “Pergerakan”, pada mulanya huruf “P”
dalam PMII mempunyai tiga alternatif kepanjangan, yaitu pergerakan,
perhimpunan, dan persatuan. Akhirnya yang dipilih adalah pergerakan
(Movement/al-harakah) dengan argumentasi sifat mahasiswa yang selalu dinamis
dan aktif, perubahan, mempunyai sifat bergerak secara aktif.
Kedua, mahasiswa.
PMII mengartikan mahasiswa sebagai generasi muda yang menuntut ilmu di
Perguruan Tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa
terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dinamis, insan sosial
dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terdapat tanggung jawab
keagamaan, intelektual sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab individual
sebagai hamba Tuhan maupun kader bangsa dan negara. Mahasiswa diangankan memuat
kandungan-kandungan, nilai-nilai intelektualitas, idealitas, komitmen dan
konsistensi.
Ketiga, Islam. Islam
yang dipahami PMII merupakan Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai corak
basis keagamaan yang ditempuh selama menimba ilmu-ilmu agama di pesantren. Di
samping itu, corak keberislaman ini selaras dengan apa yang dipegang teguh oleh
Nahdlatul Ulama (NU) dalam setiap pemikiran dan sikapnya. Sebuah pemahaman
Islam yang mengakulturasi budaya masyarakat setempat dengan ajaran-ajaran
keislaman.
Keempat, nasionalisme
dan nama Indonesia. Penegasan istilah nasionalisme dan nama Indonesia
sebagaimana terdapat dalam prinsip pemikiran poin ketiga, menunjukkan bahwa
sejak awal kelahirannya, PMII sudah memberi komitmen yang kuat bagi rasa
nasionalisme dan kebangsaan Indonesia. Penegasan istilah nasionalisme dan
Indonesia ini juga sebagai sikap terhadap organisasi mahasiswa Islam yang lebih
dulu ada yakni HMI yang tidak menegaskan nama Indonesia di dalamnya.
Musyawarah
mahasiswa NU itu juga memutuskan tiga orang formatur yang diberi tugas menyusun
kepengurusan. Mereka antara lain adalah Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, A.
Chalid Mawardi sebagai ketua satu dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum.
Di samping itu forum berhasil menetapkan peraturan dasar PMII yang berlaku
mulai 17 April 1960. Selanjutnya tanggal inilah yang dinyatakan sebagai hari
lahirnya PMII secara resmi.
Dari
sini sudah jelas bahwa ide dasar pendirian PMII murni berawal dari inisiatif
pemuda NU. Pilihan untuk bernaung di bawah panji NU bukanlah sekedar
pertimbangan praktis, bukan pula karena kondisi saat itu dependen ataumenjadi
organisasi underbouw merupakan kemutlakan, tetapi jauh dari itu keterikatan
PMII-NUtelah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur,
akidah, pola pikir, bertindak, berperilaku dan cita-cita yang sama. Meskipun
pada selanjutnya PMII harus memilih independen sebagai sebuah prinsip
kedewasaan dan kedinamisan organisasi, akan tetapi tidak serta merta bisa
dipisahkan dengan NU, hal ini karena kesamaan visi dan cita-cita sebagaimana
disebut. Adapun perihal independensi PMII ini akan dijelaskan pada
pembahasanselanjutnya.
D.
Independensi
PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU.
PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan organisasi induknya, NU. PMII
merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara stuktural maupun fungsional.
Selanjutnya sejak dasawarsa 70-an, ketika
rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengerdilkan fungsi partai politik, sekaligus
juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to
campus serta organisasi-organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan
melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. Pada
14 Juli 1971 melalui Mubes di Munarjati, PMII mencanangkan independensi,
terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan deklarasi Munarjati).
Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest
Independensi PMII.
Namun, betapa pun mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari paham
Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara
kultural-ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal
Jamaah merupakan benamg merah antara PMII dengan NU. Dengaan Aswaja PMII
membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih
tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan
moral, kesamaan background, pada hakikat keduanya susah untuk direnggangkan.
E.
Makna
Filosofis PMII
Nama PMII memiliki makna dasar tersendiri yang menjadi identitas
para kadernya, terdiri dari “ Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”,
“Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang terkandung dalam PMII adalah
dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya
memberikan rahmat bagi alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya
dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan
mengembangkan potensi ketuhanan dan potensi kemanusiaan agar gerak dinamika
menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas ke khalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” yang terkandung dalam PMII adalah
golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai
identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai
insan religius, insan akademis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas
mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, tanggung jawab
intelektual, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab individu
baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga Negara.
Pengertian “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam
sebagai agama yang dipahami dengan paradigma ahlussunnah waljama’ah yaitu
konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara Iman,
Islam, dan Ihsan yang di dalam pola pikir dan pola perilakunya tercermin
sifat-sifat selektif, akomodatif, dan integratif.
Pengertian “Indonesia” yang terkandung dalam PMII adalah
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi
bangsa (Pancasila) serta UUD 1945.
F.
Visi
dan Misi
Visi Dasar PMII:
Dikembangkan dari dua landasan utama, yakni visi ke-Islaman dan
visi kebangsaan. Visi ke-Islaman yang dibangun PMII adalah ke-Islaman yang
inklusif , toleran, dan moderat. Sedangkan visi kebangsaan PMII mengidealkan
suatu kehidupan bangsa yang demokratis, toleran dan dibangun di atas semangat
bersama untuk mewujudkan keadilan bagi segenap elemen warga-bangsa tanpa
terkecuali.
Misi Dasar PMII:
Merupakan manifestasi dari komitmen ke-Islaman dan kebangsaan, dan
sebagai perwujudan kesadaran beragama, berbangsa, dan bernegara. Dengan
kesadaran ini, PMII sebagai salah satu eksponen pembaharu bangsa dan pengemban
misi intelektual berkewajiban dan bertanggung jawab mengemban komitmen
ke-Islaman dan ke-Indonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat
manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakanganbaik spiritual maupun material dalam segala bentuk.
G.
Tujuan
Didirikannya PMII
Secara totalitas PMII sebagai suatu organisasi merupakan suatu
gerakan yang bertujuan merubah kondisi sosial di Indonesia yang dinilai tidak
adil, terutama dalam tatanan kehidupan sosial. Selain itu juga melestarikan perbedaan
sebagai ajang dialog dan aktualisasi diri, menjunjung tinggi pluralitas, dan
menghormati kedaulatan masing-masing kelompok atau individu.
Dalam lingkup yang lebih kecil PMII mencoba menciptakan kader yang
memiliki pandangan yang luas dalam menghadapi realita sosial, ekonomi, politik,
dan budaya. Memiliki pemahaman yang komprehensif tentang berbagai macam paham
pemikiran yang digunakan dalam menganalisa berbagai macam realita yang ada,
sehingga diharapkan seorang kader akan mampu memposisikan diri, kritis, dan
tidak terhegemoni oleh suatu paham atau organisasi yang dogmatis.
H.
Struktur
Organisasi
a.
Pengurus
Besar (PB) berpusat di Ibu Kota
b.
Pengurus
Koordinator Cabang (PKC) berpusat di Provinsi
c.
Pengurus
Cabang (PC) berpusat di Kabupaten
d.
Pengurus
Komisariat (PK) berpusat di Kampus
e.
Pengurus
Rayon (PR) berpusat di Fakultas
Referensi
Bacaan:
Fauzan
Alfas, 2015, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, Malang:
Intimedia
Nur Sayyid
Santoso Kristeva, 2015, Manifesto Wacana Kiri, Jogjakarta: Pustaka
Pelajar
Modul Masa Penerimaan Anggota Baru
(Mapaba) 2015 PMII Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo Semarang.
Muh. Hanif Dakhiri dan Zaini Rachman,
2000, Post Tradisionalisme Islam:
Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, Jakarta: ISISINDO MEDIATAMA,
Otong Abdurrahman, 1987, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam
perspektif sejarah bangsa skripsi Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Ahmad, Hifni.2016. Menjadi Kader
PMII. Tangerang: HARPERINDO.
MATERI III
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII
Sebagai
insan pergerakan sudah seyogyanya menggali nilai-nilai ideal-moral. Bukan tanpa
sebab, hal tersebut dilakukan dengan tujuan menjalankan amanah Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Adapun nilai-nilai tersebut lahir dari
pengalaman juga keberpihakan terhadap rumusan yang bernama Nilai Dasar
Pergerakan (NDP). NDP sendiri merupakan tali pengikat (kalimatunsawa) yang mana
mempertemukan semua warga pergerakan baik dalam ranah maupun semangat
perjuangan yang sama.
Seluruh warga pergerakan wajib memahami dan mengimplementasikan
nilai-nilai dasar PMII. Tak hanya secara personal, namun juga secara
bersama-sama mampu berjuang dalam medan sosial yang lebih luas. Adapun bentuk
implementasinya adalah dengan melakukan keberpihakan nyata melawan
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekerasan, dan tindakan lainnya. Dengan
demikian, NDP senantiasa memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
NDP adalah nilai-nilai yang secara mendasar merupakan sublimasi
nilai-nilai ke-Islaman, seperti kemerdekaan (al-hurriyah), persamaan (al-musawa),
keadilan (al-adalah), toleran (tasamuh), damai (al shuth),
dan ke-Indonesiaan (pluralism suku, agama, ras, pulau dan akulturasi budaya)
dengan kerangka pahamahlussunah wal jama’ah yang menjadi acuan dasar pembuatan
aturan dan kerangka pergerakan organisasi. Dalam upaya memahami, menghayati dan
mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan ahlussunahwaljama’ah sebagai manhaj
al-fikr sekaligus manhaj
al-taghayur al-ijtima’I (perubahan sosial) untuk
mendekonstruksikan dan merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi
ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis
transformatif.
Kedudukan NDP
Adapun
kedudukan NDP yang pertama adalah sebagai sumber kekuatan ideal-moral
dari aktivitas pergerakan. Kedua, NDP menjadi pusat argumentasi dan
pengikat kebenaran dari kebebasan berpikir, berucap, bertindak dalam aktivitas
pergerakan.
Fungsi NDP
1.
Kerangka refleksi (landasan berfikir)
Sebagai
kerangka refleksi, NDP menjadi ruang untuk melihat dan merenungkan kembali
secara jernih setiap gerakan dan tindakan organisasi. Menjadi landasan bergerak
dalam pertarungan ide-ide, paradigma, dan nilai-nilai yang akan memperkuat
tingkat kebenaran-kebenaran ideal.
2.
Kerangka aksi (landasan berpijak)
NDP menjadi
landasan dalam setiap gerak langkah serta kebijakan yang dilakukan. Seperti
dalam pertarungan aksi, kerja nyata, aktualisasi diri sehingga dapat memperkuat
setiap pergerakan yang dilakukan untuk mencapai tingkat kebenaran faktual.
3.
Kerangka ideologis (sumber motivasi)
NDP menjadi
pendorong anggota dalam bergerak sesuai dengan nila-nilai yang terkandung di
dalamnya. Selain itu NDP menjadi peneguh tekad dan keyakinan untuk bergerak dan
berjuang dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan organisasi. Begitu juga halnya
NDP menjadi landasan gerak untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa terkecuali
dilakukan sesuai dengan minat dan keahlian masing-masing.
Rumusan NDP
A.
Tauhid
Tauhid adalah menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala sifat dan dzat-Nya. Di
dalamnya terkandung hakikat kebenaran manusia, (al-Ikhlas, al-Mu’min : 25,
al-Baqarah : 130-131). Diantara nilai tauhid yang dapat di terjemahkan
diantaranya :
1.Allah adalah Esa dalam Dzat, sifat
dan af’al-Nya,
2.Tauhid merupakan keyakinan atas
sesuatu yang lebih tinggi dari alam semesta, serta merupakan manifestasi dari
kesadaran dan keyakinan kepada hal yang ghaib.
3.Tauhid merupakan titik puncak
keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan dan diwujudkan lewat tindakan,
4.Dalam memahami dan mewujudkan
pergerakan, PMII telah memilih Ahlussunah wal jama’ah sebagai manhaj
al-fikr.
5. Sebagai
acuan pertema ketika kita mengimplementasikan nilai dasar pergerakan yang
lainnya.
B.
Hubungan
Manusia dengan Allah
Allah Swt adalah satu-satunya creator yang menciptakan dunia
seisinya. Dialah yang menciptakan manusia, juga menempatkan manusia dengan
sebaik-baik kedudukan yang mulia. Sang Khalik menciptakan manusia dengan penuh
keistimewaan. Bagaimanatidak, manusia adalah ciptaan Allah yang memiliki
kemampuan berpikir, berkreasi dan kesadaran moral. Sebagai makhluk-Nya yang
diciptakan dengan banyak keistemewaan, sepatutnya menjadi makhluk yang
bertanggungjawab. Dengan kemampuan berpikir dan berkreasi serta dengan
kesadaran moral, manusia harus mampu melaksanakan kewajibannya sebagai seorang
hamba.
Sebagai hamba Allah manusia haruss menjalankan sesuai dengan
ketentuanNya. Untuk itu manusia diberi akal untuk mengontrol segala perbuatan
yang tidak semestinya atau merupakan larangan dari sang khaliq. Itulah
merupakan wujud pengabdian dari seorang
hamba kepada penciptaNya.
C.
Hubungan
Manusia dengan Manusia
Sebagai makhluk sosial, manusia pastilah
berinteraksi antara satu dengan lainnya. Sesama manusia juga saling
membutuhkan. Manusia diciptakan sebagai Khalifatullah fil ardh adalah
untuk menegakkan kesederajatan antara sesame manusia. Berangkat dari fungsi
ini, manusia memiliki kewajiban membela kebenaran dan keadilan dimanapun dan
kapanpun. Juga senantiasa memberikan kedamaian dan kasihsayang bagi
seluruhalam. Di depan Allah Swt, semua manusia sama, tidak ada yang membedakan
kecuali ketakwaan masing-masing, (al-Hujurat : 13).
Dalam keadaan dimasa sekarang hubungan
antara manusai dengan manusia lainnya sangat dipermudah dengan adanya teknologi
yang sangat maju. Disitu manusia diberikan kemudahan dalam hal
berinteraksi, entah itu secara langsung
maupun dengan media sosial (medsos).
Maka kita sebagai makhluk sosial harus bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi
yang ada saat ini untuk saling mencari
kebaikan.terlepas dari teknologi yang semakin maju kita sebagai manusia harus
tetap membahasakan bahasa manusia. Karena sejatinya tugas manusia adalah
memanusiakan manusia.
D.
Hubungan
Manusia dengan Alam
Alam semesta adalah ciptaan Allah. Allah menunjukkan tanda-tanda
keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. Dan hubungan antara hamba dengan
penciptanya juga berhubungan dengan alam, (asy-Syura : 20). Dalam konteks
hubungan sosial manusia tidak hanya dituntut untuk berinteraksi dengan sesama namun juga dengan
alam yang merupakan makhluk ciptaanNya.
Hubungan manusia dengan alam ditujukan untuk saling membantu demi
terciptanya keseimbangan dan kemakmuran di bumi. Alam tidak hanya digunakan
untuk keberlangsungan hidup manusia, tetapi alam juga punya hak untuk dijaga
dan dirawat oleh makhluk hidup. Sebab alam juga memiliki ukuran dan hukum
tersendiri.
Dengan demikian, manusia harus mentransendentasikan segala aspek
kehidupan manusia. NDP yang digunakan PMII digunakan sebagai landasan teologis,
normatif dan etis dalam pola pikir dan perilaku.
Referensi
Bacaan:
Nur Sayyid
Santoso Kristeva, 2015, Manifesto Wacana Kiri, Jogjakarta:
PustakaPelajar
Modul Masa Penerimaan Anggota Baru
(Mapaba) 2016 PMII Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo Semarang.
Modul Masa Penerimaan Anggota Baru
(Mapaba) 2018 PMII Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo Semarang.
MATERI IV
Sejarah Gerakan Mahasiswa
“Revolusi harus tahu mana lawan mana kawan, Aku
cinta kaum Nasionalis tetapi kaum nasionalis yang revolusioner, Aku cinta kaum
agama tetapi kaum agama yang revolusioner, Aku cinta komunis tetapi kaum
komunis yang revolusioner” (Ir. Soekarno, MCTurnan, 1995:622)
“...beri aku
sepuluh pemuda (Pemuda Nasionalis, Pemuda Agamis, Pemuda Komunis yang memiliki
semangat revolusioner), maka akan aku guncangkan dunia. (Ir. Soekarno)”
“Idealisme
adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda” (Tan Malaka)
Tentu ketiga kalimat diatas bukanlah kata yang tak bermakna. Untuk
mencapai kemerdekaan dari belenggu penindasan membutuhkan semangat revolusi
dari berbagai lapisan kalangan masyarakat. Dan menjadi penyulut revolusi adalah
segenap kalangan pemuda yang memiliki idealisme dan semangat yang tinggi.Sejarah kemerdekaan Indonesia sendiri
menjadi bukti bahwa kaum muda-mudi khususnya cendikiawan terpelajar telah
menggoreskan tinta perjuangan dalam mewujudkan kemerdekaan dan mempertahankan
demokrasi di negri ini.
Mahasiswa mempunyai
peranan penting dalam mengubah sejarah kebangsaan dan perjalanan demokrasi di
Indonesia. Gerakan Mahasiswa adalah bagian yang menginginkan perubahan. Tidak
dapat dipungkiri, mahasiswa selalu disebut dengan istilah The Agent of
Change, Moral Forcer, Social Control. Istilah ini tentu tak hanya berupa
jargon semata, jelas bahwa dari istilah tersebut mengambarkan para pemuda
sebagai entitas tranforman yang mampu membawa bangsa ini ke arah kesejateraan
dan kemakmuran segenap rakyat indonesia.
Banyak para tokoh dari
kalangan mahasiswa yang selalu dikenang jasanya telah melakukan perubahan untuk
bangsa ini. Tokoh pejuang kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan
Malaka tak lain merupakan dari kalangan mahasiswa. Munir, Wiji Tukul, serta
empat aktivis lainnya yang menghilang menjadi korban orde baru dalam
memperjuangkan reformasi bangsa ini dari kediktatoran rezim orde baru. Manjadi
jelas bahwa rekam jejak bangsa ini menjadi bukti dari semangat gerakan
mahasiswa untuk bangsa ini. Berikut merupakan rekam jejak sejarah gerakan
mahasiswa;
Gerakan Pemuda Pelajar 1908
Gerakan ini menjadi
gerakan organisasi resmi pemuda yang pertama kali lahir dimasa kolonial
Hindia-Belanda tepatnya pada saat pemerintah kolonial memberlakukan Politik
Etis dengan nama Boedi Utomo. Organisasi ini pula yang pertama kali memiliki
struktur pengorganisasian modern. Dalam sejarahnya, organisasi Boedi Utomo
lahir di Jakarta pada 20 Mei 1908 oleh para pemuda pelajar dan mahasiswa
kedokteran STOVIA.
Berdirinya Organisasi
Boedi Utomo menjadi momentum tumbuhnya organisasi pergerakan mahasiswa baik
yang bersifat eksternal maupun internal, karena tak lama berselang waktu
perhimpunan lainnya mulai berdiri seperti Ambtenaren di Magelang, Onderwijzers
di Yogyakarta dan Burgelijke Avondschool di Surabaya. Namun organisasi seperti
Boedi Utomo dan organisasi lainnya belum mengarah pada pergerakan politik. Hal
itu dikarenakan pada saat itu pemerintah kolonial melarang keras Bumiputra
melaksanakan aktifitas-aktifitas politik, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
3 Peraturan Pemerintah yang berbunyi; “Segala perserikatan dan perkumpulan
yang mengandung politik atau yang membahayakan ketertiban umum terlarang di
dalam Hindi-Belanda. Pelanggaran atas larangan ini dicegah dengan upaya-upaya
yang perlu dalam tiap-tiap hal itu.[1]
Gerakan Pemuda 1928
Dinspirasi oleh
pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, disusul kemudian dengan
lahirnya Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang
menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun
1926, kelompok studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa katolik,
Cristelijke Studenten Vereniging (CSV) bagi mahasiswa kristen dan Student Islam
Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam. Kebangkitan kaum terpelajara dan pemuda
aktivis tersebut yang memprakarsai peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928
dalam acara kongres pemuda II yang dimotori oleh Perhimpunan Pemuda Pelajar
Indonesia (PPPI).
Gerakan Pemuda 1945
Pada masa kolonial
Jepang, sejumlah besar aktivis pemuda dipaksa masuk dalam organisasi yang telah
dibentuk oleh pemerintah Jepang seperti Pembela Tanah Air(PETA), Seinen, dan
Barisan Pelopor (Keibodan). Dibentuknya organisasi tersebut bertujuan untuk mendidik
masyarakat dalam bidang politik demi kepentingan fasisme Jepang pada saat itu.
Kesempatan ini menjadi peluang bagi pemuda untuk memanfaatkan
organisasi-organisasi seperti PETA dengan melakukan Gerakan Bawah Tanah (GBT),
Rapat sembunyi-sembunyi dan penyebaran pamflet dalam melawan fasisme Jepang.
Saat pemerintahan
kolonial Jepang mulai terdesak oleh serangan sekutu, para pemuda yang masuk
dalam (PETA) memanfaatkan momentum tersebut untuk melakukan gerakan perlawan
dengan melucuti senjata para serdadu Jepang dibeberapa wilayah seperti di Blora
dan wilayah lainnya serta membentuk organisasi-organisasi penghimpun massa
untuk melakukan gerakan seperti, Angkatan Pemuda Indonesia (API), Gerakan
Pemuda Republik Indonesia, Pemuda Republik Indonesia dan sejumlah organisasi
gerakan lainnya.
Peran pemuda angkatan
1945 yang tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdakaan indonesia, salah
satunya yang sering diingat dan cukup familiar didengar di telinga masyarakat
adalah peristiwa Rangasdengklok pada 16 Agustus 1945. Peristiwa penculikan
Soekarno dan Hatta yang bawa ke garnisiun PETA di Rangasdengklok, Karawang pada
pukul 04.00 WIB pagi hari. Aksi ini diprakarsasi oleh gerakan pemuda bawah
tanah dengan dipimpin soekarni dan Chairul Shaleh bertujuan mendesak kedua pemimpin
bangsa itu untuk segera memproklamirkan kemedekaan dan mengusir Jepang dari
tanah air.
Gerakan Pemuda 1966
Sejak bangsa indonesia
memperoleh kemerdekaannya, organisasi pemuda pelajar banyak bermunculan dari
berbagai aliansi seperti jamur di musim hujan, dari Perserikatan Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang lahir di Malang pada tahun 1947, Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia, Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemasos),
Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII).
Sejumlah organisasi
seperti yang disebutkan diatas merupakan organisasi yang bergandengan atau
lahir dibawah partai politik. Hal ini terjadi karena pada masa itu merupakan
masa kebijakan Demokrasi Liberal diberlakukan tepatnya pada tahun 1950-1959,
dimana sistem kepartaian yang bersifat majemuk diterapkan.
Dapat dikatakan
organisasi mahasiswa saat itu tak lain menjadi tangan-tangan partai politik
yang bertujuan untuk mensukseskan partai yang membangunnya dalam pemilihan
umum. GMKI dan PMKRI berafiliasi dibawah naungan Partai Katolik, GMNI dengan
Partai Nasionalis Indonesia (PNI), CGMI dengan Partai Komunis Indonesia (PKI),
Gemasos dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), HMI dengan Mayrarakat Muslim
Indonesia (Masyumi), dan PMII dengan PartaiNahdlatul Ulama’ (NU) sebelum
organisasi tersebut memutuskan untuk memilih independen dan terlepas dari pengaruh
partai dan organisasi manapun, peristiwa ini dikenal dengan Deklarasi Murnajati
pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat.
Gerakan Pemuda 1974
Pada gerakan pemuda
angkatan 1974, merupakan awal terjadinya konfrontasi antara pihak militer
dengan gerakan pemuda itu sendiri. Hal itu terjadi disebabkan karena gerakan
mahasiswa saat itu melacarkan berbagai kritikan dan koreksi terhadap praktek
kekuasaan rezim orde baru yang diprakarsai oleh Soeharto dan partai golkar yang
menjadi partai asuhannya. Semisal penentangan terhadap pelakasanaan pemilu
pertama pada masa rezim orde baru 1972 dengan bentuk gerakan golput secara
massif yang diprakarsai oleh pemuda saat itu.Gerakan tersebut merupakan bentuk
protes terhadap kecurangan yang dilakukan oleh golkar.
Selanjutnya gerakan
penentangan yang dilakukan mahasiswa saat itu adalah penolakan pembangunan
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dibangun dengan penggusuran rakyat kecil
yang banyak bertempat tinggal di lokasi tersebut. Tak hanya itu, gerakan aksi
mengecam terhadap kenaikan BBM, ganyang korupsi, gerakan aksi protes perdana
mentri Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia serta gerakan inseden
Malari pada 15 Januari 1974.
Gerakan Pemuda 1977
Pasca peristiwa Malari
terjadi, kabar tentang aksi protes yang biasa dilakukan mahasiswa nyaris tak
terdengar. Mahasiswa selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan akademik.
Kemudian menjelang pemilu 1977, kembali terjadi pergolakan mahasiswa yang
berskala massif. Saat pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap
mahasiswa, dibentuklah Tim Dialog Pemerintah pada 24 Juli 1977 yang akan
berkampanye diberbagai perguruan tinggi.
Pada periode tahun
1978, gerakan mahasiswa lebih berkonsentrasi pada aksi yang dilakukan diwiliyah
kampus, sehingga terjadi pendudukan militer atas kampus-kampus dengan tujuan
menyerbu mahasiswa-mahasiswa yang telah dianggap melakukan pembangkangan
politik. Pasca terjadinya peristiwa tersebut, pemerintah menetapkan
dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterpaknnya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) berdasarkan putusan SK No.0156/U/1978. Isi
dari aturan tersebut mengarahkan mahasiswa menjauhkan diri dari aktivitas
politik dengan hanya berfokus pada jalur kegiatan akademik. Kemudian melaui
pangkopkamtib soedomo melakukan pembekuan terhadap kelembagaan dewan mahasiswa.
Sebagai gantinya, pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang
disebut (Badan Kordinasi Kampus (BKK) berdasarka SK menteri P&K
No.037/U/1979 yang berisi tentang bentuk susunan lembaga organisasi
kemahasiswaan di lingkungan kampus.
Peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan kampus.
Mahasiswa saat itu telah mengalami degradasi gerakan, sejumlah aktivis
mengurang dari kuantitasnya seperti daun gugur dimusim panas. Bahkan menjadi
benar sesuatu yang baru ketika kita saat itu mendapati mahasiswa yang membahas
tentang politik. Hal ini dibuktikan oleh Sarlito dengan hasil penelitiannya
pada tahun 1978 bahwa mahasiswa yang masih tergolong aktivis tersisa 7,2%
sedangkan sisanya 91,8% adalah non-aktvis. [2]
Gerakan Pemuda 1998
Pada akhir tahun 1997,
hampir dari sebagian besar negara-negara asia mengalami krisis ekonomi
finansial. Selain faktor dari krisis yang terjadi di wiliyah Asia, Indonesia
memiliki kewajiban membayar hutang luar negri yang tepat saat itu telah jatuh
pada tempo yang ditentukan. Dampak dari krisis ekonomi inilah banyak dari
masyarakat kecil mengalami kesulitan pangan karena naiknya harga-harga sembako
bahan pokok melesat tinggi.
Karena kondisi yang
semakin tak menentu, krisis yang tak kunjung usai yang menunjukkan korupnya
rezim orde baru, perlawanan massa terjadi secara massif hampir diseluruh
wilayah dan kota-kota besar di Indonesia, sehingga hal itu berujung pada
penculikan, pemukulan dan penembakan aktivi muda yang mencoba melakukan
perlawanan.
Puncaknya dari tindakan
represif ini terjadi ketika ditembaknya 4 mahasiswa Universitas Trisakti pada
12 Mei 1998 yang memicu bertambahnya kemarahan massa rakyat. Ibu kota dua hari
pasca peristiwa penembakan, kondisi Jakarta yang menjadi pusat pemerintahaan
menjadi tidak terkontrol, pengrusakan dan pembakaran oleh aksi massa terjadi
dimana-dimana. Kemudian pada 18 Mei 1998, semua kalangan elemen mahasiswa
secara serempak menutut pengulingan Soeharto dengan menduduki simbol-simbol
pemerintahan lembaga legislatif.
Mulanya
propaganda-propaganda yang dilancarkan mengangkat isu-isu perekonomian negara
dengan menuntut diturunkannya harga sembako. Lambat laun isu tersebut meningkat
menjadi isu yang bersifat politis dengan menuntut dilengserkannya Soeharto dan
mencabut dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Akhirnya
pada 21 Mei 1998 massa yang terdiri dari gerakan aktivis mahasiswa dengan
didukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto dari kursi kekuasaannya.
Daftar organisasi
gerakan mahasiswa yang berperan dalam gelombang aksi reformasi diantaranya, di
Aceh; Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), di Medan; Aliansi Gerakan
Reformasi Sumater Utara (Agresu), di Bandung; Forum Komunikasi Mahasiswa
Bandung (FKUMB), Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan (GMIP),Front
Indonesia Muda Bandung (FIMB) dan sejumlah organ lainnya, di Jakarta; Liga
Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Front Nasional, Front Jakarta, Front
Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Kesatuan Aksi Mahasiswa Trisakti (Kamtri),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI), Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI
MPO), Forum Bersama (Forbes), Himpunan Mahasiswa Revolusioner (HMR), organisasi
yang ada di sejumlah daerah lainnya.
Gerakan dan Strategi Pemuda sekarang
(Millenium)
Jika kita kembali
menilik kembali sejarah gerakan mahasiswa sendiri, dewasa ini gerakan mahasiswa
mengalami degradasi. Semenjak runtuhnya rezim orba dan ditandai dengan lahirnya
reformasi, gerakan mahasiswa seakan kehilangan formulasi gerakan yang jelas dan
mengalami misorientasi terhadap nilai-nilai yang menjadi gerakan itu sendiri.
Derasnya arus media dan
informasi yang menandai era globalisasi menjadi salah satu faktor perubahan
paradigma, sikap, serta ideologi mahasiswa. Gerakan mahasiswa kini sering
terjebak pada status dan oposisi. Perdebatan dan perbedaan pandangan mengenai
status dan posisi inilah seringkali menuai jalan buntu dalam memformulasikan
gerakan yang relevan dan ideal. Seharusnya pergerakan mahasiswa tidak hanya
menyesuaikan diri dengan zaman yang membuatnya kehilangan entitas dirinya,
melainkan juga tetap mempertahankan ideologi dan jatidirinya.
Gerakan mahasiswa
semestinya belajar dari perjuangan gerakan mahasiswa pada generasi sebelumnya
dengan bersikap tegas terhadap kajian dan isu-isu politik yang ada. Tidak mudah
dipengaruhi sikap persuasif penguasa dan hegemoni media. Pembangunan nalar
kritis merupakan Basic need yang harus di penuhi demi menjamin kualitas
dan keberlangsungan gerakan mahasiswa. Belajar dari para tokoh sebelumnya
seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjarhrir, serta Tokoh reformasi seperti
Munir, Wiji Tukul dan tokoh lainnya yang menjadi bagian dari sejarah gerakan
mahasiswa, kita dapat mengetahui bahwasanya mereka tidak hanya aktivis pejuang
yang hidup dalam organisasi, melainkan juga pemikir sekaligus. Organisasi juga
tidak hanya tentang massa dan penyatuan ide, namun organisasi juga menjadi
tempat untuk menempah nalar kritis mahasiswa.
Nalar kritis menjadi
fondasi organisasi pergerakan. Hai ini yang sering dilupakan oleh banyak
aktivis pergerakan. Dewasa ini organisasi hanya diartikan massa atau perkumpulan
yang sering digunakan sebagai media pertemanan, jaringan dan tetek bengeknya.
Tak lazim jika gerakan mahasiswa kini melempem yang kegiatannya hanya sekedar
realisasi program kerja tahunan. Jangankan gerakan, tujuan untuk bergerak pun
mereka tak tahu.
Sudah semestinya Nalar
kritis dan imajinasi politik lah yang harus kita bangun kembali. Mengawal isu
politik dan kebijakan pemerintah tanpa mudah dihegemoni oleh pihak lain yang
berkepentingan. Menolak dengan lantang segala bentuk penindasan terhadap
kemanusiaan serta menyuarakan aspirasi masyarakat demi kesejahteraan rakyat.
Strategi Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa merupakan
simbolisasi jiwa-jiwa ideal yang sangat menentukan nasib bangsa dan negara di
masa depan. Disebut ideal karena di masa-masa itulah penanaman nilai-nilai
intelektual, norma sosial yang diinternalisasikan. Nilai intelektual dan norma
sosial tersebut diimplemetasikan dengan pengalaman melalui interaksi secara
langsung dengan masyarakat sehingga mewujud sebagai kepekaan dan kesadaran sosial
yang tinggi.
Tanpa memandang vokasi
pendidikan yang ada pada prodi masing-masing. Mahasiswa harus mampu menganalisa
realitas sosial yang terjadi dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik dan
polemik antara pemerintah dan rakyat sehingga kesadaran dalam melaksanakan
sistem tatanan kenegaraan berjalan sesuai tanpa adanya ketimpangan keadilan
yang terjadi.
Mahasiswa pun ikut
terlibat aktif dan partisipatif memasuki tataran pemerintahan baik di ranah
kampus maupun pemerintahan untuk menentukan kebijakan yang mampu menyetarakan keadilan. Hal itu disebut juga dengan gerakan parlementer.
Di sisi lain mahasiswapun mengisi
tataran civil society yang
membaur serta mampu mengawal kebijakan pemerintah termasuk diantaranya
adalah mengadvokasi terhadap masyarakat yang menjadi korban ketimpangan
tersebut. Selain itu mahasiswa bisa aktif dan ikut andil dalam ranah literasi
dan jurnalisme, menggiring opini publik untuk tetap mendampingi masyarakat
terutama masyarakat yang terdiskriminasi dan menjadi korban ketidakadilan.
Dalam perbedaan kedua
struktur ranah mahasiswa yang berbeda tersebut baik parlementer maupun
nonparlementer pada dasarnya harus memiliki visi dan fungsi yang sama yaitu
mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan dan memperjuangkan hak-hak kaum mustad’afin.
Sehingga kesejahteraan bagi rakyat Indonesia secara total mampu terealisasikan.
Referensi
Bacaan:
Nur Sayyid Santoso Kristeva, 2015, Manifesto Wacana Kiri,
Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Eko Prasetyo, 2014, Bangkitlah Gerakan Mahasiswa, Sosial Movemeent
Institute dan Resist Book
Modul Masa Penerimaan Anggota Baru
(Mapaba) 2016 PMII Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo Semarang.
MATERI V
Studi Pengantar Gender
Sejarah telah menorehkan bahwa pergerakan perempuan tidak luput
dari kondisi sosial politik. Isu terkait perempuan bukan lagi menjadi isu
melainkan budaya yang di kontruksi oleh masyarakat setempat. Hal ini
mengharuskan kita sebagai milenial harus waspada dan mawas diri terhadap
realita yang terjadi serta tidak pergi meninggalkannya. Citra bahwa laki-laki
adalah mahkluk yang kuat, jantan, perkasa, cerdas dan lain sebagainya sementara
perempuan adalah makhluk yang lemah, emosional kurang cakap merupakan suatu
produk budaya patriarki. Citra tersebut bukanlah kodrat karena perbedaan antara
laki-laki dan perempuan terletak pada sisi biologisnya.
Prihal pembahasan mengenai konsep gender, hal pertama yang perlu
diperhatikan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan gender
itu sendiri secara terlebih dahulu. Pertama, tentang konsep seks. Seks
ialah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, kalau kita
membahas tentang jenis kelamin berarti terkait kodrat dari sang pencipta
seperti wanita itu mempunyai Rahim, payudara, hamil, melahirkan menyusui,
mentruasi dan lain sebagainya. Sedangkan laki-laki berarti mempunyai penis,
jakun, jengot,dan lain sebagainya.
Kedua, mengenai gender, kata “gender” dapat diartikan untuk menggambarkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan mengenai perbedaan peran, fungsi,
status dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, hal ini tidak bisa di
tentukan secara biologis atau kodrat. Demikian gender merupakan sebuah konsep
dari konstruksi budaya masyarakat yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya
gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Gender tidak bersifat
kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia
lainnya tergantung waktu dan budaya setempat.
Perempuan dianggap sebagai golongan yang tertindas dan konsep
gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki
dalam masyarakatnya. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa konsep gender
merupakam isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah kesetaraan kedudukan,
fungsi, status dan tangungjawab antara perempuan dan laki-laki.
Sejarah Feminisme
Budaya sosial mengkontruksi bahwa perempuan selalu di bawah
laki-laki dalam berbagai bidang. Misal dalam bidang pendidikan. Perempuan
dianggap tidak pantas untuk mendapatkan pendidikan, padahal pendidikan suatu
hal yang primer yang harus mereka dapatkan guna membentuk karakter dan
kepribadian. Hal ini yang membuat kaum perempuan tidak bisa membaca bahkan buta
huruf. Badan Pusat statistika (BPS)
Kemendikbud telah mencatat bahwa ada sekitar 2,07% masyarakat Indonesia masih
buta huruf dan 70% diantaranya adalah
perempuan. Faktornya juga bermacam dari mulai budaya sosial hingga sekaligus
keluarga sendiri. Misalmya, di suatu keluarga yang diprioritaskan anak laki-laki
dibandingkan perempuan dengan alasan bahwa laki-laki sebagai pemimpin dan lain
sebagainya. Sehingga perempuan tidak diberi tempat di ruang publik serta kurang
diberi apresiasi dalam menyuarakan pendapat karena kurangnya kecakapan. Mereka
hanya di anggap kaum yang lemah serta tugasnya hanya bisa mengurusi rumah dan
anak. Karena keadaan sosial seperti ini, mereka sadar sebagai golongan yang
tertindas. Kemudian bangkit untuk menyuarakan keadilan antara laki-laki dan
perempuan, yang selama ini wanita selalu tersubordinasi di bawah laki-laki.
Kemudian lahirlah gerakan feminism yang dimotori oleh para pelopor
feminisme dengan tujuan mendobrak nilai-nilai lama yaitu patriarki yang selalu
dilindungi oleh tradisi struktural fungsional. Gerakan feminisme modern di
Barat dimulai pada Tahun 1960-an yaitu terjadi karena timbulnya kesadaran
perempuan secara kolektif, Sebagai golongan tertindas. Menurut Skolnick:
Some feminists denounced the family as a trap that turned women into slaves
(beberapa feminis menuduh keluarga sebagai perangkap yang membuat para
perempuan menjadi budak-budak). Gerakan feminisme yang berdasarkan model
konflik berkembang menjadi gerakan-gerakan feminisme liberal, radikal, dan
sosialis atau Marxisme.
Berdasarkan berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa filsafat
feminism sangat tidak setuju dengan budaya patriarki. Budaya patriarki yang
berawal dari keluargalah yang menjadi penyebab adanya ketimpangan gender di
tingkat keluarga yang kemudian mengakibatkan ketimpangan gender di tingkat masyarakat.
Laki-laki yang sangat diberi hak istimewa oleh budaya patriarki menjadi sentral
dari kekuasaan di tingkat keluarga. Hal inilah yang menjadikan ketidaksetaraan
dan ketidakadilan bagi kaum perempuan dalam kepemilikian properti, akses dan
kontrol terhadap sumberdaya dan akhirnya kurang memberikan manfaat secara utuh
bagi eksistensi perempuan.
Penghapusan sistem patriarki atau struktur vertikal adalah tujuan
utama dari semua gerakan feminisme, karena sistem ini yang dilegitimasi oleh
model struktural-fungsionalis, memberikan keuntungan laki-laki daripada
perempuan. Berikut sejarah berkembangnya gerakan feminisme yang mencakup dua
gelombang:
Pertama,
gerakan ini lebih pada gerakan filsafat di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary
Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet yang pada Tahun 1785, suatu
perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di
Middelburg (Selatan Belanda). Seorang aktivis sosialis utopis bernama Charles
Fourier pada Tahun 1837 memunculkan istilah feminisme yang kemudian tersebar ke
seluruh Eropa dan Benua Amerika. Publikasi John Stuart Mill dari Amerika dengan
judul The Subjection of Women pada Tahun
1869 yang melahirkan feminisme Gelombang Pertama.
Kedua, gerakan ini
dimulai pada Tahun 1960, dengan terjadinya liberalisme gaya baru dengan
diikutsertakannya perempuan dalam hak suara di parlemen. Era Tahun 1960
merupakan era dengan mulai ditandainya generasi “baby boom” (yaitu
generasi yang lahir setelah perang dunia ke-2) menginjak masa remaja akhir dan
mulai masuk masa dewasa awal. Pada masa inilah, masa bagi perempuan mendapatkan
hak pilih dan selanjutnya ikut dalam kancah politik kenegaraan.
Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia
Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dialami juga oleh
masyarakat Indonesia. Hal ini membuat perempuan bangun untuk bangkit
menyeruakan ketidakadilan serta melepaskan diri dari belenggu budaya patriarki.
Pada masa kolonial yaitu sebelum kemerdekaan telah muncul tokoh-tokoh perempuan
yang dipelopori oleh R.A Kartini yang dikenal sebagai tokoh emansipasi
perempuan Indonesia. Kemudian setelah itu lahirlah tokoh perempuan di jawa
barat yakni Dewi Sartika.
Organisasi perempuan pertama didirikan di Indonesia pada tahun 1912
yaitu Poetri Mardika. Setelah Poetri Mardika berdiri, lahirlah pergerakan
perempuan lainnya seperti Putri Sejati dan Wanita Utama. Disusul tahun 1920
berdirinya organisasi wanita Aisyiah yang kemudian diikuti oleh organisasi
perempuan kaum Katolik dan Protestan. Masih di tahun yang sama, Sarekat Rakyat
lahir dengan menyuarakan peningkatan upah dan perbaikan kondisi kerja yang baik
bagi perempuan.
Kebangkitan gerakan gender semakin terasa di tahun 1928 dengan
diselenggarakannya kongres perempuan pertama (22-25 Desember) di Yogyakarta
dengan tujuan menegakkan hak-hak perempuan. Karena, jauh sebelum itu perempuan
dianggap tidak mampu berperan dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi politik
dan lain sebagainya. Di tahun ini semakin marak tumbuh berbagai organisasi
perempuan bahkan muncul 30 organisasi mengenai perempuan.
Paska kemerdekaan (1950) organisasi perempuan beransu-ansur hancur,
di samping itu muncullah GERWANI(Gerakan Wanita Indonesia) sebagai kelanjutan
dari Istri Sedar. Organisasi ini menyuarakan untuk mensukseskan pemilu, anti
perkosaan, peningkatan kesadaran perempuan tani, berantas buta huruf, hukuman
berat bagi pemerkosa dan penculikan, kegiatan sosial ekonomi bagi kaum
perempuan, pendidikan masalah politik, kesehatan, dan monogami.
Reformasi politik pada tahun 1998 telah membawa angin perubahan
pada situasi politik di Indonesia, perubahan ini membawa implikasi bagi gerakan
sosial politik di Indonesia termasuk gerakan perempuan. Gerakan perempuan
Indonesia menjadi bagian terpenting dalam perjuangan reformasi, bahkan dalam
hal ini gerakan perempuan membawa budaya baru yang berlandaskan pada etika
kepedulian di tengah budaya politik yang maskulin. Hal ini tampak pada tindakan
dan strategi yang diambil gerakan perempuan dalam menghadapi kerusuhn pada Mei
1998 dan konflik sosial dengan menggunkan isu-isu SARA (Suku,Agama,Ras,dan
Antargolongan) di berbagai daerah.
Sedangkan di era reformasi gerakan dan pemikiran perempuan terus
berkembang. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari kemunculan berbagai
organisasi yang didirikan untuk menyuarakan dan membela kepentingan perempuan.
Tidak hanya berhenti disini masih banyak terjadi berbagai persoalan yang harus
di hadapi seperti, angka kematian ibu, perkawinan anak, perdagangan manusia,
dan kesenjangan upah. Persoalan kekerasan dan diskriminasi berdasarkan gender
masih terus berlanjut, seperti perkosaan dan pelecehan seksual.
Dalam situasi tersebut, gerakan perempuan terus mencari bentuk dan
pemikiran untuk mendorong agenda politik perempuan di ranah publik, mulai dari
tingkat nasional hingga di akar rumput. Aksi kolektif perempuan merupakan salah
satu metode gerakan perempuan yang berujuan untuk mengajukan tuntunan di ranah
politik dengan tetap membawa identitas gender perempuan. Gerakan perempuan
tidak hanya membahas persoalan perempuan, tetapi juga mengakar persoalan publik
yang lebih luas, kelestarian lingkungan dan keadilan sosial.
Ketimpangan Gender
Perbedaan Gender tidak akanmenjadi masalah apabila tidak melahirkan
ketidakadilan gender. Akan tetapi realitas perempuan selalu dianggap dibawah
laki-laki.Berikut merupakan ketimpangan gender yang dialamai oleh perempuan
antara lain:
1.
Marginalisasi
(peminggiran atau pemiskinan)
Timbulnya
kemiskinan di kalangan masyrakat dan Negara merupakan akibat dari proses
marginalisasi antara laki-laki dan perempuan. Bentuk ini terjadi antara lain
karena perbedaan gender. Perbedaan gender dapat terjadi karena kebijakan
pemerintah, keyakinan tradisi dan penafsiran agama. misalnya progam pertanian green
revolution (revolusi hijau) yang hanya di fokuskan pada petani laki-laki
sehingga petani perempuan tersingkirkan dan mereka harus mencari pekerjaan lain
untuk menghidupi keluarganya.
2.
Subordinasi
(Di nomor duakan)
Subordinasi
timbul sebagai akibat pandangan gender, yaitu sikap yang menempatkan perempuan
pada posisi yang tidak penting. Hal ini terjadi karena anggapan bahwa perempuan
tidak mempunyai peran dalam berbagai bidang sehingga perempuan dianggap kurang
cakap bahkan tidak pantas untuk tampil di depan public. Misalnya, adanya
kebijakan pemerintah ketika suami ingin sekolah ke luar negri bisa memutuskan
sendiri tanpa minta persetujuan dari sang isri, akan tetapi jika istri ingin
sekolah ke luar negriharus meminta izin dulu pada suami
3.
Stereotype
(pelabelan)
Akibat dari stereotype
bisanya mengakibatkan kemiskinan. Pelabelan ini di produksi oleh masyarakat
yang mengakibatkan kemiskinan, menyulitkan serta membatasi perempuan. Seperti
contohnya pelabelan bahwa tugasnya laki-laki mencari nafkah sedangkan perempuan
hanya patuh pada suami, mengurusi rumah, dan anak.
4.
Vilionce
(kekerasan)
Vilionce
merupakan serangan terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang yang
dilakukan terhadapjenis kelamin tertentu. Misalnya kekerasan, pemerkosaan,
pelecehan.
5.
Beban
Ganda
Bentuk lain
dari ketidakadilan gender yaitu beban ganda yang harus dilakukan oleh salah
satu jenis kelamin. Misalnya, dalam suatu rumah tangga, perempuan menanggung
beban kerja domestic lebih lama dan lebih besar di bandingkan laki-laki.
Dalam hal ini,
ketidakadilan gender ranahmya bukan hanya persoalan ketidaksamaan. Selain itu,
ketidakadilan ini akan menimbulkan dampak kekerasan yang sasarannya adalah kaum
perempuan, seperti Kekerasan Seksual, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT),
kekerasan Pekerja Rumah Tangga (PRT) , pekerja migran perempuan, dan masih
banyak kasus mengenai hal ini. Misalnya, di Indonesiamasih banyak kasus
kekerasan seksual yang dialami perempuan.
Berikut data kasus kekerasan seksual yang di catat oleh Komnas
Perempuan:
Dari diagram di atas dapat kita simpulkan bahwa, angka kekerasan
seksual di Indonesia mengalami kenaikan dan penurunan tiap tahunnya. Pada akhir
2017 lalu tercatat ada 65 kasus yang dilaporkan ke Unit Pengaduan untuk Rujukan
(UPR) Komnas Perempuan. Selain itu, Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan
dalam ranah pekerja rumah tangga (PRT) dan pekerja migran perempuan, mencatat
ada sebanyak 10 kasus kekerasan.[3]
Ketimpangan
diatas sering dialami oleh kaum perempuan. Ketimpangan ini tidak lain merupakan
sebuah dampak dari budaya patriarki yang memandang lingkungan sosial dari
perbedaan jenis kelamin atau bias gender. Ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan yang diakibatkan oleh cara pandang budaya patriarkis ini hanya bisa
dihilangkan dengan meninggalkan cara pandang budaya patriakis yang cenderung
bias gender itu sendiri, walaupun tidak mudah.
Namun pengaruh
budaya patriarki bisa diminimalisirkan bahkan di hilangkan dengan cara
mewujudkan cita-cita perempuan tentang keseteraan Gender. Hal tersebut bisa
terwujud apabila kita bisa mengembangkan sumberdaya SDM dengan berbekal pada
pendidiakan gender sebagai pisau analisa dalam memahami realitas sosial.
Demikian dengan meningkatkan SDM dan potensi perempuan dalam berbagai bidang
tentunya akan menghidupakan semangat untuk mengisi ruang-ruang yang
diperuntukan untuk mereka serta mampu berpartisipasi dalam mengatasi masalah
sosial, ekonomi, politik dan lainsebagainya Sehingga gender bukan hanya sebagai
pengetauan saja melainkan juga melalui pembuktian.
Referensi
bacaan:
Fakih,
mansur. (2008) Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Jogjakarta:INSISTPress
Pupitawati,
herein. (2013) Konsep Teori dan Analisis Gender.Bogor: Jurnal Fakultas
Ekologi Bogor
Dhewy, Anita. Catatan
Jurnal Perempuan; Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia.
0 Komentar