PENDAKI MANJA ALA MAHASISWA

               
Ahad, 28 Agustus 2019. Awan gelap tipis terlihat mengitari Ngaliyan dan sekitarnya. Aku dan beberapa teman yang sedari seminggu lalu telah merencanakan agenda “muncak bareng” telah siap dengan segala persiapan yang ada.  Yang pertama namanya agung, dia adalah teman satu kelas di kampus dan dia juga sudah biasa mendaki gunung. Lalu ada syarif, syarif juga satu kelas dengan saya syarif ini orangnya sangat keras kepala dan badannya lumayan besar dan tinggi.

Selanjutnya ada wahyu, dia juga satu kelas denga saya  dia asli pemalang orangnya humoris dan lucu ketika dia berbicara dengan bahasa ngapaknya. Yang ke empat mas dayat, mas dayat ini keponakannya agung yang kuliah di IAIN kudus dan sudah semester 8 ini. Dan yang terakhir adalah vita yaitu keponakan saya yang juga satu kampus tapi berbeda jurusan, dia ini satu-satunya perempuan yang ikut mendaki dengan kami dan juga sangat cerewet.

Pada malam yang dingin dan sunyi mencekam kami bergegas untuk pergi menuju daerah Boyolali karena basecamp yang tercepat untuk mendaki gunung merbabu ada di daerah boyolali, tepatnya di desa Selo. Tapi sebelum kami sampai di basecamp pendakian yang ada di desa Selo kami mendapatan kendala, kendala tersebut ialah motor yang di bawa oleh syarif dan wahyu bensinya hampir habis sedangkan jalan yang kami lewati ketika itu tanjakan.

Setelah kami beristirahat sambil menunggu warung yang bukak sampai pagi, kami langsung melanjutkan perjalanan kami ke basecamp yang di tuju. Sesampainya di basecamp kamipun tidak bisa langsung  mendaki gunung karena kami harus menunggu tempat registrasinya buka. Setelah kamu menunggu sekitar satu jam setengah di basecamp,setelah menunggu buka akhirnya kami bisa langsung mengurus registrasi dan mendaki.

Kemudian kami membagi barang bawaan yang akan kami bawa untuk mendaki, dari basecamp wahyu dan mas dayat yang membawa tas paling yang paling besar dan berat.  Sedangkan kami berempat membawa tas yang tidak terlalu berat karena kesepakatnya tas yang paling berat membawanya gentian. Jarak antara basecamp dengan post satu sekitar 1,7 km, belum ada seperempat jalan menuju post satu mas dayat yang katanya baru dua kali mendaki dan yang pertama pun dia mendaki pada saat kelas 2 SMA dulu.

Mas dayat sudah tidak kuat sebab kepalanya pusing sampai muntah-muntah karena kaget dengan tas bawaannya yang besar dan berat itu. Kamipun berhenti sangat lama untuk menunggu mas dayat yang badannya langsung drop itu, ternyata mas dayat ini mempunyai penyakit yang lumayan parah. Dia mempunyai penyakit yang penyakitnya itu melarang dia untuk berolahraga dan jangan sampai kecapekan, sebab dia pernah menjadi guru pencak silat yang ada di kampusnya tetapi dia mengalami kecelakaan pada saat latihan.
Lalu agung pun memberi saran kepada mas dayat untuk tidak melanjutkan pendakian tersebut, karena agung takut kalau mas dayat tidak kuat dan penyakitnya semakin parah. Tetapi tekad mas dayat sudah bulat untuk melanjutkan perjalanan dan dia juga merasa sungkan kepada teman-teman, akhirnya tas yang di bawa mas dayat di bawa oleh agung dan perjalanan pendakianpun di lanjutkan.
Perjalanan kami dari basecamp sampai post satu kurang lebih sekitar dua jam setengah, . Kami juga beristirahat cukup lama di post satu pendakian sebab menunggu mas dayat untuk pulih lagi. Di perjalanan kami bertemu dengan banyak pendaki juga, ada yang sudah turun ada juga yang akan naik ke puncak.

Dari post satu menuju post dua kekuatan dan ketangguhan kami mulai di uji, karena jalan menuju post dua jalannya sudah mulai menanjak dan sangat berdebu. Ketika berjalan sesekali kami bersenda gurau agar perjalanannya tidak terasa, terutama saya dan vita yang sesekali mengejek wahyu karena logat bahasa ngapaknya yang sangat lucu itu.

Lucunya lagi syarif berkata seperti ini “cooook endi tah post loro ki, kog ora tekan-tekan wes kemeng sikelku” dalam bahasa Indonesianya seperti ini “mana toh post dua ini, kog nggak sampai-sampai sudah pegal kakiku” . kamipun berhenti sambil menertawakan ucapannya syarif karena dia selalu 
 mengeluh di perjalanan pada sat itu.

Dan dari post satu menuju post dua ini mas dayat mulai berjalan dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan sampai-sampai dia berjalan dengan merangkak sebab trek yang di lalui dan dia juga takut penyakitnya kambuh lagi. Sesampainya kami di post dua, kami langsung di sambut pemandangan yang  mengurangi rasa lelah kami.

Sembari meregangkan tubuh yang sudah lesu dan kusut, mata kami sesekali mencuri pandangan ke awan yang sangat cerah nan biru ini. Saya pun duduk dan menghisap rokok untuk menikmati udara sejuk gunung merbabu. Si agungpun mulai melakukan kebiasaannya sebagai pendki yang sudah professional menunggu teman yang lain beristirhat ia malah berputar putar disekitar post dua untuk mencari sesuatu yang masih bisa digunakan entah apapun itu barangnya.

Karena terik matahari yang sudah sangat menyengat kamipun bergegas untuk melanjutkan perjalanan pendakian yang masih panjang. Sesekali mas dayat meminta air minum yang dibawa oleh wahyu, sebab tenaga mas dayat yang sangat terkuras karena sudah lama tidak pernah olah raga.

ketika baru dua ratus meter menuju ke arah post dua mas dayat berkata “he aku wes ngeleh kang, ayo leren terus masak mie disek” tetapi si syarif menjawab omongan mas dayat dengan tegas “masak engko cok, ben sisan tekan post telu karo leren seng suwe” .

Akhirnya mas dayat pun mengurungkan niatnya karena dibalas syarif dengan nada jawaban yang agak keras menandakan syarif sudah jengkel dengan mas dayat yang jalannya lamban dan menghabiskan iar minum banyak. Si syarif memang sudah menggerutu dari awal sejak mas dayat muntah-muntah dan mengajak berhenti agak lama, karena syarif menganggap mas dayat sebagai beban dalam perjalanan ini. 

Tetapi si wahyu dan saya yang dari awal gemarnya membuat syarif jengkel  dan menggerutu tidak jelas, menjadikan suasana tidak terlalu tegang saat perjalanan. Aku juga berkata kepada syarif dengan mimik wajah mengejeknya seperti ini “lapo to cok cangkeman wae, meneng ag wes si”. Dan si syarif pun mulai melihatkan wajah yang sangat jengkel dengan saya sambil menggedong tas yang paling berat.

Sesudah kami makan dan istirahat di post tiga, kamipun langsung melanjutkan perjalanan sebab kami sudah tidak sabar untuk istirahat. Tapi saya dan teman-teman harus melewati jalur yang paling berat menurut para pendaki yaitu dari post tiga ke post empat, jalur inilah yang membuat tenaga kami dan pendaki lainya sangat terkuras.

Disini tenaga kami dikuras habis-habisan oleh jalur yang ada, tetapi ada saja sesuatu yang membuat semangat kami bertambah. Wahyu yang membawa tas berisikan air tujuh liter dan sepatu yang licin untuk mendaki, bertingkah konyol karena dia tidak sengaja berjalan dengan merangkak dan dia bertieriak “rif sikele nyong kemeng iki, tulong copotno sepatuk".

Aku, syarif dan vita seketika tertawa dengan lepas mendengar perkataan wahyu yang berbahasa ngapak dengan wajah yang polos karena takut kalau terpeleset. Dan syarif yang orangnya dari awal sok-sokan dan kolot dia berbicara seperti ini “ngopo si cok kuwe alem-alem wae”  saya dan vita pun tambah ketawa dengan ngekek karena perkataan syarif tadi.

Karena suasan yang sudah cair akhirnya saya menambahi perkataan kepada wahyu karena mimik wajahnya yang sangat lucu karena dia memakai celana pendek jaketan dan memakai peci. Jadi sayaberkata seperti ini “cok ono si unyil nng gunung” orang yang bersamaan dengan kami juga ikut tertawa lepas sembari berjalan karena tingkah kami yang sangat lucu ini.

Sesampainya kami di post empat atau biasanya dikatan sebagai sabana satu,pada saat itu sekitar jam setengah lima. Rasa lelah kami terbayar dengan adanya matahari yang akan tenggelam persis di belakang kami ini. Tanpa bosa-basi kami langsung mengambil hp untuk mengambil satu dua kali jepretan untuk kami abadikan.

Waktu yang sudah menandakan hampir magrib ini, kami langsung berbagi tugas. Agung,syarif dan mas dayat mendirikan tenda untuk tempat tidur, saya dan wahyu memasang kompor yang nantinya untuk masak setelah tenda berdiri. Karena vita perempuan sendiri saya menyarankan dia untuk tidur terlebih dahulu sembari menunggu kami mempersiapkan semuanya.

Tenda sudah berdiri dan kompor sudah siap untuk memasak, vita pun sudah saya suruh untuk masuk tenda karena sangat kedinginan. Mas dayat juga menyusul vita masuk tenda karena dua orang ini yang paling kelelahan dari kami.

Udara dingin yang menyengat dan malam yang sunyi gemerlap dihiasi bintang-bintang yang bersinar menemani kami ditenda kecil ini. Sesekali terdengar suara pendaki lain yang juga asyik menikmati malam hari di lereng gunung merbabu.
Saya dan syarif yang rela bertarung dengan dinginnya malam di lereng merbabu sebab harus tidur diluar, karena tenda yang kecil itu sudah sesak diisi empat orang. Dan syarif memutuskan untuk berbincang ria tentang perjalanan yang sudah kita lalui bersama, ditemani kopi yang sudah tidak panas lagi karena angin yang sangat kencang dan ditambah rokok kretek yang kami bawa dari bawah disertai lantunan lagu sholawatan yang disukai syarif. 

Sembari saya menyerutup kopi dan menghisap rokok syarif sesekali membual seperti ini “cok, kok sek atise kyok ngene ya hawane. Aku wedi tek hypo lueet”. Itulah kata-kata yang sering diucapkan syarif ketika kami ngobrol berdua.

Tibalah waktunya untuk kami beristirahat. Karena tak terasa perbincangan kami lakukan itu sudah memakan banyak waktu.Tepat jam 2.30 pagi. Agung membangunkan saya karena sebelum agung tidur,  saya memberi amanat agar bisa bangun paling awal karena dia yang tidurnya sudah nyenyak didalam tenda. Sayapun langsung dibangun agung, lalu teman yang lain mulai saya bangunkan dan saya beri tawaran apakah mereka mau mendaki ke puncak sekarang atau nanti.

Vita menjawab tawaran saya untuk mendaki pagi itu juga. Tetapi saya  menanyakan lagi kepada vita seperti ini “kuwe siap tenan ra vit munggah? Masalahe anyepe sek mengkene lho”. Dan vita menjawab dengan mantap dan menyakinkanku “siap yo kak, niatku kan muncak. Mosok wes tekan kene ora sekalian tekan duwur”. Karena jawaban vita yang mantap sayapun memperbolehkannya untuk ikut mendaki sampai puncak.

sedangkan yang lain tidak ikut mendaki karena suhu yang masih sangat dingin dan menurut mereka masih terlalu pagi. Akhirnya saya, agung dan vita bergegas untuk menyiapkan apa saya yang harus kami bawa untuk mendaki dan teman yang lain melanjutkan tidurnya.

Perjalanan kami bertiga untuk sampai ke puncak ternyata tidak semulus yang kami kira. Vita yang tadinya dari tenda semangatnya membara ternyata diperjalanan selalu mengeluh, entah itu karena dingin, kepalanya pusing, kakinya sakit, bahkan dia juga berkata “kak umam, tanganku kenceng kabeh. Aku podo wae kudu mutah sek mboh iki kak rakuat aku rasane kak”.Meski vita yang selalu merengek kesakitan ini itu, tapi dia tetap memaksa untuk mendaki sampai puncak. Berjalan dua menit istirahatnya lima menit. Itulah yang selalu kami lakukan karena saya dan agung yang prihatin terhadap keadaan vita saat itu.

Agung juga memberi semangat vita seperti ini “muncak iku ora soal tekan duwur weruh sun rise, tapi muncak iku pie carane kene mangkat muleh selamet. Tek rejeki yo iso tekan duwur terus weruh sun rise, tek orak yowes gapopo”. Walaupun kami bertiga tidak bisa sampai puncak pada saat sun rise (terbitnya matahari). Sebab sun rise mucul ketika perjalanan kami kurang satu tanjakan lagi. Kami tetap dimanjakan oleh indahnya ciptaan tuhan yang tiada tara ini. Gunung yang dikelilingi oleh awan atau biasanya diberi nama para pendaki sebagai “karpet awan’’ dan terbitnya matahari dari ufuk timur yang sangat indah dan memanjakan mata ini seketika langsung menghilangkan rasa lelah kami bertiga.

Vita yang asalnya lesuh dan kecapekan seketika langsung menjadi segar bugar dan semangat kembali. Disitu kami berhenti sangat lama untuk melihat kenikmatan dunia yang jarang bisa kami lihat. Sesekali kami bertiga juga berfoto untuk mengabadikan momen itu.

Kamipun tetap melanjutkan pendakian karena tujuan kami adalah puncak gunung merbabu. Ketika kami berjalan yang hampir sampai dipuncak, kami bertemu dengan turis yang sudah mau turun. Akhirnya kami brtiga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengajak sang turis berfoto, karena jarang kami menemui turis yang sedang mendaki gunung juga.

Akhirnya kami sampai juga dipuncak gunung merbabu. Kami sampai di puncak sekitar jam 6.15. ketika itu juga saya langsung mengucapkan “alhamdulillah Ya Allah, aku iso tekan duwur”.Vita pun juga terharu karena tidak percaya bahwa dia bisa sampai puncak tertinggi gunung merbabu. Dan pada saat itu juga hanya dia perempuan yang bisa sampai puncak karena sebelumnya pada pagi itu belum ada perempuan yang sampai atas. Baru ada lagi perempuan yang sampai atas pada jam 08.30 pagi.

Kami bertiga diatas cukup lama, sekitar 2 jam. Sebab kami disana juga memasak untuk sarapan sambil menikmati pemandangan yang tiada duanya. Diatas kami bisa melihat dengan jelas gunung merapi dan beberapa gunung yang lain seperti gunung lawu, sindoro, slamet, sumbing dan masih banyak lagi.

Pagi yang sangat cerah  dan gunung yang dikelilingi awan membuat kami betah berlama-lama diatas. Tetapi kami harus turun karena syarif, wahyu dan mas dayat masih dibawah untuk menunggu kami turun.

Posting Komentar

0 Komentar