Aku adalah manusia yang dilahirkan ke dunia oleh ibundaku, namaku Ahmad Khoirul Umam kawanku biasa memanggilnya dengan nama spaan umam. Aku merupakan salah satu manusia yang ada di dunia dari milyaran manusia didunia ini, umurku baru menginjak 21 tahun pada 21 september kemarin. Aku duduk dibangku kuliah semester 5 fakultas Ushuluddin Uurusan Studi Agama Agama.
Agamaku Islam bawaan dari orang tuaku dan sampai hari ini aku masih menganut agama islam, walaupun sampai hari ini islamku masih islam KTP. Sedari kecil aku dijejal dengan semua pelajaran mengenai agama islam, dari mulai aku bisa baca tulis hingga sampai saat ini. Sejak MTs (Madrasah Tsanawiyah) hingga MA (Madrasah Aliyah) aku sudah dibuang ke pondok pesantren oleh orang tuaku dengan dalih supaya aku bisa mafhum dalam persoalan agama.
Kehidupanku dirumah sangat berbeda, jika aku dirumah kegiatanku hanya mencari rumput di kebun milik ayahku, membaca, mengaji di masjid, nongkrong dengan kawan sejawat diwarkop pinggiran, tidur, dan makan. Memang kehidupanku dirumah tak jauh berbeda dengan kawan-kawan yang sedang membaca artikel ini. Tetapi, ketika aku memasuki jenjang pendidikan yang bernama kuliah, aku dituntut oleh orang tuaku untuk bisa mandiri dalam semua aspek kehidupanku.
Ya, umam yang teman-teman tau dikampus sangat berbeda dengan umam yang ada didesa, mungkin beberapa kawan kelas yang pernah ke rumahku pasti mengerti sendiri perbedaanya. Tapi tidak hal ini yang ingin aku sampaikan kepada teman-teman kelas. Aku ingin menyampaikan bagaiamana aku adalah manusia yang seutuhnya.
Teman-teman pasti pernah merasa sebenarnya kita hidup didunia ini untuk mencari apa. Seperti seorang anak kecil yang bernama shopie dalam buku yang berjudul Dunia Sohie karangan Jostein Gaarder, dalam awal cerita itu si gadis sophie awal mulanya mendapatkan surat yang berisi “siapakah kamu”. Setelah itu si gadis kecil menanyakan perihal “siapakah aku”.
Saat kita membahas buku dunia sophie maka pasti larinya terkait pembahasan filsafat, yang disitu bertujuan mengasah pisau analisis kita untuk bisa berfikir secara jernih dan menelaah lebih dalam perihal esensi hidup di dunia. Aku, kamu dan kita disini sama dalam hal mencari makna aku yang mendalam, entah dalam hal kedawasaan, kedamaian, percintaan, hingga mencari pengetahuan.
Aku juga pernah teringat perkataannya Sutjiwo tejo terkait ke-aku-an kalau tidak salah bunyinya seperti ini “Hidup itu seperti wayang, dimana kamu menjadi dalang atas naskah semesta yang dituliskan oleh Tuhanmu”. Makna yang saya tangkap dari ungkapan beliau adalah kita atau aku sebagai manusai yang hanya bisa melakukan apa yang terfikirkan atau tertulis dalam buku harian, selebihnya ada campur tangan tuhan yang tidak bisa kita ubah.
Jadi aku adalah manusia yang berfikir untuk melakukan semua hal yang terfikirkan dalam benak otakku. Jika kita menilik tentang makna aku dalam perspektif psikologi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita sendiri dan penilaiaan orang lain.
Kedamaian
Berbicara tentang damai semua orang bisa mengartikannya sendiri termasuk aku, jika aku diminta untuk memaknai kata damai sebenarnya maka seketika aku akan menjawab bahwa damai ialah rasa tenang dalam diri dan tak ada yang bisa mengganggu.
Tetapi, jika kita memaknai damai secara global adalah sebuah harmoni dalam kehidupan alami antar manusia di mana tidak ada perseturuan ataupun konflik. Bisa diartikan juga tidak adanya kekerasan dan sistem keadilan berlaku baik dalam kehidupan pribadi, antar personal, maupun dalam sistem keadilan sosial politik lokal, menyeluruh, dan secara global.
Lawan kata dari damai adalah konflik kekerasan. Harus ada pembedaan yang jelas antara konflik dengan konflik kekerasan. Konflik adalah suatu keniscayaan yang melekat pada suatu masyarakat yang terdiri dari banyak individu yang memiliki keinginan, kehendak dan kepentingan tertentu. Konflik ini diperlukan bagi tumbuh berkembangnya suatu komunitas menuju arah yang lebih baik. Sementar konflik kekerasan adalah ketika berbagai keinginan, kehendak dan kepentingan tersebut berusaha dicapai atau dipertahankan dengan cara-cara yang merusak, baik merusak secara fisik, psikis maupun lingkungan.
Namun bagi sebagian kalangan pemahaman di atas tidak cukup untuk menjelaskan berbagai macam konflik kekerasan yang masih saja terjadi di berbagai sisi kehidupan. Makna damai tidak semata dipahami dari perspektif psikologis individu atau masyarakat. John Galtung, ilmuwan dan aktifis perdamaian dari Norwegia, mendefinisikan perdamaian dalam dua sisi. Pertama, damai yang negatif, yaitu tidak adanya perang atau konflik kekerasan. Situasi ini dicapai dengan pendekatan struktural, yaitu pencegahan setiap potensi konflik dengan cara mengontrol pihak-pihak yang bisa menyulut potensi konflik menjadi konflik terbuka dan menggunakan kekerasan. Kedua, damai yang positif, yaitu suasana yang sejahtera, adanya kebebasan dan keadilan yang menjadi dasar terciptanya suasana damai dalam suatu realitas kehidupan.
Jika saya analogikan makna damai dalam kehidupan sehari-hari seperti kita bisa makan dengan kenyang, belajar tanpa ada tekanan dari siapapun, membaca buku yang kita sukai itu juga termasuk dalam makna damai.
Teman-teman juga pasti masih ingat kemarin ketika jurusan kita merayakan hari perdamaian dunia (world peace day) setiap tanggal 21 September. kalau menilik asal muasal hari perdamaian dunia pasti ada penyebab kenapa ada perayaannya, tak bisa disangkal bahwa berakhirnya perang dunia lah penyebabnya.
Perang disini bisa mempunyai makna yang luas jika boleh saya artikan perang adalah suatu peristiwa saling tidak percaya atau saling bermusuhan yang melibatkan lebih dari satu orang yang akhirnya menyebabkan suatu kekacauan. Tetapi terkadang kita juga bisa merasakan yang namanya perang dengan batin kita sendiri sehingga kita kehilangan rasa damai.
Semenjak adanya perayaan hari perdamaian dunia kita dituntut untuk menjadi agen perdamaian (peace maker) sebab, setidaknya kita sudah mendapatkan ilmu dalam menjaga perdamaian. Tetapi apakah kita sudah merasa damai dengan diri sendiri?.
0 Komentar